Pandu Winata: Pemandu Wisata Baduy yang Mengabdi dengan Hati

rdtratud | 21 Juni 2025, 00:50 am | 32 views
Oleh: Apud Gusman
Di tengah arus modernisasi yang menggulung sendi-sendi kebudayaan lokal, ada sosok yang tetap teguh menjaga jembatan antara tradisi dan dunia luar. Namanya Pandu Winata—seorang aparatur sipil negara (ASN) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang mengabdikan diri tak hanya di balik meja birokrasi, tetapi juga di jalur-jalur perbukitan menuju tanah Baduy.
Lebih dari sekadar pemandu wisata, Pandu adalah penjaga nilai dan penutur kisah. Ia mendampingi para wisatawan yang hendak menyusuri jejak budaya Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam, dengan kesabaran dan keikhlasan yang tak terbatas. Dedikasinya bukan demi imbalan materi, melainkan panggilan jiwa untuk mengenalkan kekayaan adat yang hidup dan lestari.
Sebagai salah satu tokoh yang peduli terhadap pelestarian cagar budaya di Lebak, Pandu tidak hanya memandu langkah, tapi juga membuka wawasan. Ia menjelaskan seluk-beluk kehidupan suku Baduy—komunitas adat yang tetap teguh memegang nilai-nilai leluhur. Dalam paparannya, kita belajar bahwa ada perbedaan mendasar antara Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Baduy Luar, dengan ciri khas pakaian batik biru-hitam dan ikat kepala serupa, masih bersinggungan dengan dunia luar. Mereka dapat bepergian keluar wilayah, meski tetap berjalan kaki, dan para pria biasanya menyelipkan golok di pinggang sebagai simbol tradisi dan pertahanan diri.
Sebaliknya, Baduy Dalam memegang teguh nilai kesederhanaan dan kesucian adat. Mereka berpakaian serba putih, tak mengenakan alas kaki, dan menjunjung tinggi keputusan kepala suku dalam setiap aspek kehidupan. Kehidupan mereka adalah cermin dari kedisiplinan tradisi, keselarasan dengan alam, dan ketulusan hidup bersama.
Pandu tak hanya menjadi jembatan antara wisatawan dan komunitas adat, tapi juga menjadi guru kebudayaan yang menyampaikan pesan moral: bahwa setiap pengunjung harus datang dengan penuh penghormatan, rendah hati, dan tanpa kesewenang-wenangan. Kehidupan suku Baduy bukanlah tontonan, melainkan pelajaran hidup.
Saya sendiri menyaksikan betapa Pandu melayani dengan sabar, menjawab pertanyaan demi pertanyaan, memastikan setiap tamu memahami makna di balik adat dan larangan yang berlaku. Dalam diamnya hutan dan beningnya sungai Baduy, kehadiran Pandu menjadi cahaya bagi siapa saja yang ingin belajar, bukan sekadar melancong.
Sosoknya yang sederhana, sabar, dan ikhlas ini mengajarkan kita satu hal penting: bahwa menjadi pemandu bukan sekadar urusan arah, tetapi tentang bagaimana kita membawa nilai, menjaga etika, dan menanamkan pemahaman.
Semoga ketulusan Pandu Winata dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dan semoga lebih banyak lahir orang-orang seperti dia—yang mencintai budaya bukan karena popularitas, tapi karena cinta sejati terhadap warisan bangsa. Aamiin.
Berita Terkait